Thursday, April 19, 2018

Sepenggal Cerita Menuju Gunung Sinabung

 C:\Users\ACER\Downloads\IMG20180414133308.jpg
Gunung Sinabung adalah salah satu gunung merapi  yang masih aktif hingga saat ini. Gunug  tersebut terletak di daerah dataran tinggi kabupaten karo, sumatera utara, Indonesia.

 Jika anda ingin berkunjung kesana, maka anda dapat menempuhnya melalui jalan darat dengan waktu tempuh kurang lebih tiga Jam dari kota Medan. 

Sekedar bercerita dan berbagi pengalaman. Beberapa hari yang lalu tepatnya pada tanggal lima belas April  aku beserta seorang  temanku telah mengunjungi daerah tersebut.  Kami berangkat dari Kota Medan pada sabtu pagi sekira pukul Sembilan Wib lewat dikit.

Hari itu aku  dan seorang temanku berencana untuk pergi kesana mengambil bahan jepretan yang hendak di ikutkan kedalam sebuah kontes photografi yang diselenggarakan oleh Badan Pengendalian Bencana Daerah (BPBD) wilayah Sumatera utara. 

Pada kontes kali ini tema yang di angkat adalah tentang bencana, yang meliputi , pra bencana, tanggap bencana hingga pasca bencana. 

Aku dan seorang temanku sepakat untuk ikut serta dalam lomba tersebut dan mengambil salah satu tema diantara ketigannya serta menjadikan Gunung sinabung sebagai Spot jepretan kami.

***

Pagi itu aku berangkat dari rumah pukul delapan Wib kurang menuju rumah temanku.

Sesampainya aku disana. Jujur aku sangat segan memanggilnya karena pikirku pukul delapan wib adalah waktu yang teramat pagi jika di hari libur. Dan orang-orang masih banyak yang tidur.

Gang di daerah tempat tinggal temanku begitu sempit. Jarak antara satu rumah dengan rumah yang lainnya juga tidak terlalu berjauhan. 

Aku tidak inging menggangu orang-orang yang ada disekitar hingga akhirnya aku memutuskan untuk memanggilnya melalui telepon.

Tut tut suara telpon. Tampilan dilayar monitor teleponku tertulis berdering yang berarti telponku masuk. Dan tekperlu menunggu lama diapun menjawab telponku.

“Halo lik.. aku udah di depan rumahmu ini”.

Dengan suara yang tidak terlalu keras aku memberitahunnya kalau aku sudah berada didepan rumahnya. Dan tidak lama berselang dari itu, ia pun keluar dengan pakaian hijau kuning.

“Owh udh sampai” jawabnya biasa.

“Bentar ya sop aku makan dulu”. Jawabnya kembali.

Likha adalah salah satu teman SD ku dulu. Meskipun ia agak cerewet dan sering sekali memarahiku,  Aku tetap saja mengajaknya. Entah kenapa tapi, Kebanyakan wanita memang sepeti itu pikirku dalam hati.

Aku menunggunya bersiap-siap. Hingga pada pukul Sembilan lewat dikit kamipun bergegas pergi dari rumahnya.
***

Pagi itu langit begitu mendung. Suara gemuruh sesekali juga terdengar.

Tidak seperti biasanya, pagi ini lagit kelihatan  sedikit gelap. Awan hitam mulai kelihatan hampir di sepanjang perjalanan yang kami lalui.

Hari itu kami  memutuskan untuk melewati jalur belakang tidak melalui jalur utama.

Kami memilih melewati desa Namorambe , suatu desa yang terletak di daerah pinggiran kecamatan Pancur Batu.

Jika ingin melewati jalur ini maka,dari Medan kita hanya tinggal lurus saja menuju  simpang sejati.

Jalur ini memiliki beberapa nilai lebih jika dibandingkn  jalur utaman. Salah satunya adalah dikarenakan jalur ini terletak di daerah pedesaan. 

Jalan pedesaan pada umumnya sangat jarang dilewati oleh kendaraan besar maupun kendaraan angkutan umum sehingga kita bisa lebih leluasa dan yang pastinya jauh dari kata macet.

Pada bagian awal sebelum memasuki daerah desa namorambe tersebut perjalanan masih biasa-biasa saja. Jalanan masih datar dan pemukiman penduduk juga masih sangat padat.

Namun, Ketika kita hendak sampai di desanya. Nuansa pegunungan mulai terasa. Jalanan menikung serta naik turunpun turut serta kami lewati. 

Meskipun sesekali langkah kami terhenti sesaat dikarenakan harus memasang mantel  hujan. Kami tetap tidak pantang menyerah dan terus melanjutkan perjalanan.
***

Pukul  setengah sebelas kami pun keluar dari desa Namorambe menuju jalur utama.

Aku terus memacu kenderaanku. Tidak terlalu kencang memang….tetapi entah kenapa likha sering kali mengingatkanku untuk berhati-hati.

Setengah jam berselang dari itu akhirnya kami sampai di kota Berastagi. Aku kemudian menghentikan laju kendaraanku di sebuah pom bensin untuk mengisi minyak.

Meskipun minyak motor yang kami naiki masih ada setengahnya, aku tetap saja mengisinya lataran kami juga belum tahu pasti keadaan dari daerah yang akan kami tuju. Aku juga tidak mau kalau sampai-sampai aku mendorong sepeda motor tersebut menaiki tanjakan lantaran kehabisan minyak.

Sesampainya kami di daerah simpang empat. Aku kembali menghentikan laju sepeda motor yang kami naiki. Kali ini bukan untuk mengisi minyak atau memasang mantel hujan melainkan untuk bertanya.

Kami bertanya kepada warga setempat mengenai jalan menuju lokasi yang akan kami tuju. Karena ada pepatah mengatakan bahwa “Jika malu bertanya sesat di jalan”. Dan aku tidak mau hal yang demikian menimpa kami berdua.

Kami bertanya pada seorang bapak yang jika dilihat dari fisiknya, umur beliau sekitar tiga kali lipat dari umurku saat ini.

“Permisi pak, kami mau bertanya ni.”

“Ia nak silahkan.”

“Pak kira-kira jalan mau ke gunung sinabung itu lewat mana ya pak ?”

“Owh sudah kelewatan nak.”

“Kamu balik lagi mmutar arah. Ada bundaran itu kan…..”

“Ia pak jawabku cepat”

“Belok ke kanan  arah simpang empat.”

“Ia pak.” Jawabku lagi.

Jumpa tugu bambu runcing lurus saja arah ke bawah.” Jawab bapak itu dengan mantap.

Setelah mengerti sepenuhnya kamipun berangkat. Dan tak lupa kata terimakasih kami hanturkan kepada bapak tersebut.
***

Kamipun bergegas bergerak menuju arah yang dijelaskan oleh bapak tadi.

Ditengah-tengah perjalanan aku bertanya kepada likha sambil berusaha untuk menyakinkannya.

“Lik..”

“Ia Sop”

“Yakinnya kau kita tempuh ini..?”

“Yakin “ . “Akupun jadi semakin penasaran ini sop”. Jawab likha mantap.

Akhirnya berdasarkan keyakinan likha itu pulalah kami kembali melanjutkan perjalanan.

Aku menarik pedal gasku kembali. Kali ini tidak terlalu dalam karena jika boleh jujur. Rute yang akan kami lalui ini masih remang-remang atau dengan kata lain masih meraba-raba.
***

Sesampainya kami di simpang bambu runcing akupun mengajak lihka untuk membeli makanan.

Daerah yang akan kami lalui adalah daerah pegunungan dan pedesaan jadi tidak mungkin pikirku di daerah yang kami tuju nanti ada yang menjual makan.

Selain itu,, tanah karo adalah mayoritas pemeluk agama Kristen jadi kami juga harus pilih-pilih dalam memilih tempat makan.

Bukan rasis atau bagaimana akan tetapi, Agama kami menganjurkan untuk memilih makanan halal dan baik. 

Aku bukanlah seorang ahli agama ataupun ustad. Akan tetapi aku sangat berpegang teguh kepada aturan agama. Walaupun kadang kala kebablasan juga. Tapi aku menyakini sepenuhnya bahwa selalu ada kebaikan yang kita dapat jika kita bertindak sesuai aturan agama.

Beberapa rumah makan kami lewati. Setiap rumah makan yang kami lihat tak lupa aku minta saran likha.

“Lik yang ini gimana ?”

“kayaknya engaklah sop. Cari yang lain aja.”

“Yang ini ?”

“Jangan.”

“yang Ini..?”

“engak !!!!!!”

“Kalau Ini ?”

“engak… eh tapi balik-balik lagi sop. Kayaknya itu ada bacaan halalnya.”

Akupun memutar arah motorku kearah rumah makan yang ditunjuk likha tadi. Dan membeli nasi bungkus sebagai bekal makan siang kami berdua.
***

Langit kembali gelap. Kali ini ditambah udara dingin khas pegunungan.

Aku sempat menduga bahwa sebentar lagi hujan akan turun kembali.

Dari simpang tugu bambu runcing kami memutari tugu tersebut sekitar delapan puluh derejat dan berjalan lurus menuju arah lau kawar.

Kali ini daerah yang kami lalui semakin ekstrim. Jalan menanjak naik dan turun senantiasa megiringi perjalan kami. beberapa kali kami melihat tebing-tebing yang terkikis. Bukan karena erosi ataupun faktor alam lainnya melainkan ulah manusia. 

Mereka mengeruk tebing-tebing di sisi-sisi jalan yang kami lalui dengan menggunakan traktor pengeruk.

Sungguh tidak bertanggung jawab !, “Seruku dalam hati.”

Kelestarian alam menjadi terganggu akibat ulah mereka. Selain itu,, akibat ulah yang mereka perbuat juga dapat membahayakan para pengguna jalan. Pasalnya, tebing-tebing bekas kerukan tersebut menjadi gundul dan semakin curam. Dan jika terjadi hujan maka daerah tersebut bukan tidak mungkin menjadi longsor.

Aku menjadi sedikit takut memikirkan hal tersebut sementara likha,  sedari tadi masih saja asik merekam perjalanan dengan menggunakan video ponselku.

“Sop…Sop “ seru likha sembari memukul pundakku.

“ia ada apa lik..?”

“berhenti di depan itu … kayaknya cantiklah kalau kita berfoto disini”.

Aku menuruti perintah likha dan megarahkan sepeda motor yang kami naiki menuju pinggir jalan yang agak datar.

Namun tiba-tiba….srett kami terjatuh. Daerah pinggir jalan yang ingin kami tuju ternaya penuh dengan berbatuan krikil. 

Ban depan sepeda motor kami yang hampir gundul itu tidak bisa mengigit mereka dengan sangat kuat. Akhirnya kami berdua pun terjatuh. 

Aku terjatuh sembari menahan motor agar tidak jatuh kedalam jurang sementara itu likha langsung melompat melenggan bag peri yang turun dari kereta kencana.

“Kau tidak apa-apa lik..?”. Seruku sedikit khawatir.

“Engak sop”. Jawab likha sambil tertawa.

Selain suka marah-marah. Aku juga lupa bilang bahwa ia juga wanita yang aneh. Kadang ia kalem kadang ia juga begitu membingungkan.

Aku kembali mendirikan sepedah motorku sedangkan likha langsung memeriksa lensa kamera yang sedari tadi berada di dalam tasnya.

“Alhamdulilah syukurlah tidak apa-apa”. Likha bersuara.

Aku masih bingung. Kali ini bukan karena likha melainkan bingung melihat kejadian yang kami alami barusan.

Likha kemudian menyiapkan kameranya. Dan memotret beberapa sisi dari gunung sinabung yang sepertinya jaraknya juga sudah mulai dekat dari jarak kami saat ini.

Karena viewnya kurang bagus. Akhirnya likha mengajaku kembali untuk melanjutkan perjalanan.
***

Hujan kembali turun. Kali ini lebih deras.

Disela-sela hujan. Aku teringat mamanya likha.

Mama likha adalah salah seorang yang berjasa dalam perjalanan kali ini. Selain telah mengijinkan aku membawa anaknya pergi . mama likha juga lah yang memberi kami mantel hujan.
***


Hujan semakin deras dan udara menjadi semakin dingin. Setelah memasang mantel Kamipun kembali melanjutkan perjalanan.  

Sangat disayangkan karena pemandangan gunung sedikit tertutupi oleh kabut. Derasnya hujan juga membuat kami tidak leluasa menatap pemandangan yang ada di sekitar kami.

Kelok demi kelok kami lewati tanjakan maupun turunan juga tak luput dari perjalan kami.

Akhirnya hujanpun berhenti. Aku dan likha kemudian memutuskan untuk membuka mantel hujan dan berhenti di suatu tempat. 

Sungguh diluar dugaan sesaat setelah hujan turun matahari muncul kembali. Panorama gunung sinabung yang indah membuat kami terkesima.

Udara gunung yang asri serta tumbuhan hijau yang hidup disekitarnya membuat aku benar-benar terpesona.

Perjalanan panjang yang cukup melelahkan seolah terbayar sudah. Rasa letih seolah gugur seketika ketika kami sampai di daerah tersebut.

Perjalanan ini sungguh mengesankan bagiku, entah kalau likha aku sih gak tau gimana perasaannya.. Akan tetapi yang jelas bagiku perjalan ini sungguh mengesankan.

Perjalan ini telah mengajarkanku akan sesuatu yang amat berharga bagiku. 

Perjalan kali ini telah menambah pandanganku terhadap kehidupan. Bahwa “Jalan yang sulit akan membawa kita menuju tempat yang indah”.

Jangn pernah bersedih jika kehidupan masa muda kita mengalami berbagai kesulitan dan cobaan. Beranggapan baik saja karena bisa jadi kesulitan hidup yang kita alami hari ini akan membawa indah pada waktunya. Yang penting kita harus tetap berusaha dan berdoa kepada sang pencipta.

Sekian dulu kisah perjalanku dan likha menuju gunung sinabung. Meskipun banyak kisah yang kami alami disana. Termasuk saat pulang menuju ke Medan. Mengenai lihka yang hampir jatuh di jalan karena mengantuk. Serta banyak lagi . 

Akhirkata tulisan ini menemui muaranya. Assalamualaikum wr.wb. Semoga pembaca dan kita semua senantiasa berada di dalam lindungan dan karunianya Allah SWT. Amin. Amin ya rabbal alamin.


Medan 19 April 2018. 

Jangan lupa folow IG saya ya : Ucup_0402

C:\Users\ACER\Downloads\IMG20180414150222.jpg





No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.