Gunung Sinabung adalah salah satu gunung
merapi yang masih aktif hingga saat ini. Gunug tersebut terletak di
daerah dataran tinggi kabupaten karo, sumatera utara, Indonesia.
Jika anda ingin berkunjung kesana, maka
anda dapat menempuhnya melalui jalan darat dengan waktu tempuh kurang lebih
tiga Jam dari kota Medan.
Sekedar bercerita dan berbagi pengalaman.
Beberapa hari yang lalu tepatnya pada tanggal lima belas April aku beserta
seorang temanku telah mengunjungi daerah tersebut. Kami berangkat
dari Kota Medan pada sabtu pagi sekira pukul Sembilan Wib lewat dikit.
Hari itu aku dan seorang temanku berencana
untuk pergi kesana mengambil bahan jepretan yang hendak di ikutkan kedalam
sebuah kontes photografi yang diselenggarakan oleh Badan Pengendalian Bencana
Daerah (BPBD) wilayah Sumatera utara.
Pada kontes kali ini tema yang di angkat adalah
tentang bencana, yang meliputi , pra bencana, tanggap bencana hingga pasca
bencana.
Aku dan seorang temanku sepakat untuk ikut serta
dalam lomba tersebut dan mengambil salah satu tema diantara ketigannya serta
menjadikan Gunung sinabung sebagai Spot jepretan kami.
***
Pagi itu aku berangkat dari rumah pukul delapan
Wib kurang menuju rumah temanku.
Sesampainya aku disana. Jujur aku sangat segan
memanggilnya karena pikirku pukul delapan wib adalah waktu yang teramat pagi
jika di hari libur. Dan orang-orang masih banyak yang tidur.
Gang di daerah tempat tinggal temanku begitu
sempit. Jarak antara satu rumah dengan rumah yang lainnya juga tidak terlalu
berjauhan.
Aku tidak inging menggangu orang-orang yang ada
disekitar hingga akhirnya aku memutuskan untuk memanggilnya melalui telepon.
Tut tut suara telpon. Tampilan dilayar monitor
teleponku tertulis berdering yang berarti telponku masuk. Dan tekperlu menunggu
lama diapun menjawab telponku.
“Halo lik.. aku udah di depan rumahmu ini”.
Dengan suara yang tidak terlalu keras aku
memberitahunnya kalau aku sudah berada didepan rumahnya. Dan tidak lama
berselang dari itu, ia pun keluar dengan pakaian hijau kuning.
“Owh udh sampai” jawabnya biasa.
“Bentar ya sop aku makan dulu”. Jawabnya kembali.
Likha adalah salah satu teman SD ku dulu.
Meskipun ia agak cerewet dan sering sekali memarahiku, Aku tetap saja
mengajaknya. Entah kenapa tapi, Kebanyakan wanita memang sepeti itu pikirku
dalam hati.
Aku menunggunya bersiap-siap. Hingga pada pukul
Sembilan lewat dikit kamipun bergegas pergi dari rumahnya.
***
Tidak seperti biasanya, pagi ini lagit kelihatan sedikit gelap. Awan hitam mulai kelihatan hampir di sepanjang perjalanan yang kami lalui.
Hari itu kami memutuskan untuk melewati jalur belakang tidak melalui jalur utama.
Kami memilih melewati desa Namorambe , suatu desa yang terletak di daerah pinggiran kecamatan Pancur Batu.
Jika ingin melewati jalur ini maka,dari Medan
kita hanya tinggal lurus saja menuju simpang sejati.
Jalur ini memiliki beberapa nilai lebih jika
dibandingkn jalur utaman. Salah satunya adalah dikarenakan jalur ini
terletak di daerah pedesaan.
Jalan pedesaan pada umumnya sangat jarang
dilewati oleh kendaraan besar maupun kendaraan angkutan umum sehingga kita bisa
lebih leluasa dan yang pastinya jauh dari kata macet.
Pada bagian awal sebelum memasuki daerah desa
namorambe tersebut perjalanan masih biasa-biasa saja. Jalanan masih datar dan
pemukiman penduduk juga masih sangat padat.
Namun, Ketika kita hendak sampai di desanya.
Nuansa pegunungan mulai terasa. Jalanan menikung serta naik turunpun turut
serta kami lewati.
Meskipun sesekali langkah kami terhenti sesaat
dikarenakan harus memasang mantel hujan. Kami tetap tidak pantang
menyerah dan terus melanjutkan perjalanan.
***
Aku terus memacu kenderaanku. Tidak terlalu
kencang memang….tetapi entah kenapa likha sering kali mengingatkanku untuk
berhati-hati.
Setengah jam berselang dari itu akhirnya kami
sampai di kota Berastagi. Aku kemudian menghentikan laju kendaraanku di sebuah
pom bensin untuk mengisi minyak.
Meskipun minyak motor yang kami naiki masih ada
setengahnya, aku tetap saja mengisinya lataran kami juga belum tahu pasti
keadaan dari daerah yang akan kami tuju. Aku juga tidak mau kalau sampai-sampai
aku mendorong sepeda motor tersebut menaiki tanjakan lantaran kehabisan minyak.
Sesampainya kami di daerah simpang empat. Aku
kembali menghentikan laju sepeda motor yang kami naiki. Kali ini bukan untuk
mengisi minyak atau memasang mantel hujan melainkan untuk bertanya.
Kami bertanya kepada warga setempat mengenai
jalan menuju lokasi yang akan kami tuju. Karena ada pepatah mengatakan bahwa
“Jika malu bertanya sesat di jalan”. Dan aku tidak mau hal yang demikian
menimpa kami berdua.
Kami bertanya pada seorang bapak yang jika
dilihat dari fisiknya, umur beliau sekitar tiga kali lipat dari umurku saat
ini.
“Permisi pak, kami mau bertanya ni.”
“Ia nak silahkan.”
“Pak kira-kira jalan mau ke gunung sinabung itu
lewat mana ya pak ?”
“Owh sudah kelewatan nak.”
“Kamu balik lagi mmutar arah. Ada bundaran itu
kan…..”
“Ia pak jawabku cepat”
“Belok ke kanan arah simpang empat.”
“Ia pak.” Jawabku lagi.
Jumpa tugu bambu runcing lurus saja arah ke bawah.”
Jawab bapak itu dengan mantap.
Setelah mengerti sepenuhnya kamipun berangkat.
Dan tak lupa kata terimakasih kami hanturkan kepada bapak tersebut.
***
Kamipun bergegas bergerak menuju arah yang
dijelaskan oleh bapak tadi.
Ditengah-tengah perjalanan aku bertanya kepada
likha sambil berusaha untuk menyakinkannya.
“Lik..”
“Ia Sop”
“Yakinnya kau kita tempuh ini..?”
“Yakin “ . “Akupun jadi semakin penasaran ini
sop”. Jawab likha mantap.
Akhirnya berdasarkan keyakinan likha itu pulalah
kami kembali melanjutkan perjalanan.
Aku menarik pedal gasku kembali. Kali ini tidak
terlalu dalam karena jika boleh jujur. Rute yang akan kami lalui ini masih
remang-remang atau dengan kata lain masih meraba-raba.
***
Sesampainya kami di simpang bambu runcing akupun
mengajak lihka untuk membeli makanan.
Daerah yang akan kami lalui adalah daerah
pegunungan dan pedesaan jadi tidak mungkin pikirku di daerah yang kami tuju
nanti ada yang menjual makan.
Selain itu,, tanah karo adalah mayoritas pemeluk
agama Kristen jadi kami juga harus pilih-pilih dalam memilih tempat makan.
Bukan rasis atau bagaimana akan tetapi, Agama
kami menganjurkan untuk memilih makanan halal dan baik.
Aku bukanlah seorang ahli agama ataupun ustad.
Akan tetapi aku sangat berpegang teguh kepada aturan agama. Walaupun kadang
kala kebablasan juga. Tapi aku menyakini sepenuhnya bahwa selalu ada kebaikan
yang kita dapat jika kita bertindak sesuai aturan agama.
Beberapa rumah makan kami lewati. Setiap rumah
makan yang kami lihat tak lupa aku minta saran likha.
“Lik yang ini gimana ?”
“kayaknya engaklah sop. Cari yang lain aja.”
“Yang ini ?”
“Jangan.”
“yang Ini..?”
“engak !!!!!!”
“Kalau Ini ?”
“engak… eh tapi balik-balik lagi sop. Kayaknya
itu ada bacaan halalnya.”
Akupun memutar arah motorku kearah rumah makan
yang ditunjuk likha tadi. Dan membeli nasi bungkus sebagai bekal makan siang
kami berdua.
***
Aku sempat menduga bahwa sebentar lagi hujan akan
turun kembali.
Dari simpang tugu bambu runcing kami memutari
tugu tersebut sekitar delapan puluh derejat dan berjalan lurus menuju arah lau
kawar.
Kali ini daerah yang kami lalui semakin ekstrim.
Jalan menanjak naik dan turun senantiasa megiringi perjalan kami. beberapa kali
kami melihat tebing-tebing yang terkikis. Bukan karena erosi ataupun faktor
alam lainnya melainkan ulah manusia.
Mereka mengeruk tebing-tebing di sisi-sisi jalan
yang kami lalui dengan menggunakan traktor pengeruk.
Sungguh tidak bertanggung jawab !, “Seruku dalam
hati.”
Kelestarian alam menjadi terganggu akibat ulah
mereka. Selain itu,, akibat ulah yang mereka perbuat juga dapat membahayakan
para pengguna jalan. Pasalnya, tebing-tebing bekas kerukan tersebut menjadi
gundul dan semakin curam. Dan jika terjadi hujan maka daerah tersebut bukan
tidak mungkin menjadi longsor.
Aku menjadi sedikit takut memikirkan hal tersebut
sementara likha, sedari tadi masih saja asik merekam perjalanan dengan
menggunakan video ponselku.
“Sop…Sop “ seru likha sembari memukul pundakku.
“ia ada apa lik..?”
“berhenti di depan itu … kayaknya cantiklah kalau
kita berfoto disini”.
Aku menuruti perintah likha dan megarahkan sepeda
motor yang kami naiki menuju pinggir jalan yang agak datar.
Namun tiba-tiba….srett kami terjatuh. Daerah
pinggir jalan yang ingin kami tuju ternaya penuh dengan berbatuan krikil.
Ban depan sepeda motor kami yang hampir gundul
itu tidak bisa mengigit mereka dengan sangat kuat. Akhirnya kami berdua pun
terjatuh.
Aku terjatuh sembari menahan motor agar tidak
jatuh kedalam jurang sementara itu likha langsung melompat melenggan bag peri
yang turun dari kereta kencana.
“Kau tidak apa-apa lik..?”. Seruku sedikit
khawatir.
“Engak sop”. Jawab likha sambil tertawa.
Selain suka marah-marah. Aku juga lupa bilang
bahwa ia juga wanita yang aneh. Kadang ia kalem kadang ia juga begitu
membingungkan.
Aku kembali mendirikan sepedah motorku sedangkan
likha langsung memeriksa lensa kamera yang sedari tadi berada di dalam tasnya.
“Alhamdulilah syukurlah tidak apa-apa”. Likha
bersuara.
Aku masih bingung. Kali ini bukan karena likha
melainkan bingung melihat kejadian yang kami alami barusan.
Likha kemudian menyiapkan kameranya. Dan memotret
beberapa sisi dari gunung sinabung yang sepertinya jaraknya juga sudah mulai
dekat dari jarak kami saat ini.
Karena viewnya kurang bagus. Akhirnya likha
mengajaku kembali untuk melanjutkan perjalanan.
***
Disela-sela hujan. Aku teringat mamanya likha.
Mama likha adalah salah seorang yang berjasa dalam perjalanan kali ini. Selain telah mengijinkan aku membawa anaknya pergi . mama likha juga lah yang memberi kami mantel hujan.
***
Hujan semakin deras dan udara menjadi semakin
dingin. Setelah memasang mantel Kamipun kembali melanjutkan perjalanan.
Sangat disayangkan karena pemandangan gunung
sedikit tertutupi oleh kabut. Derasnya hujan juga membuat kami tidak leluasa
menatap pemandangan yang ada di sekitar kami.
Kelok demi kelok kami lewati tanjakan maupun turunan
juga tak luput dari perjalan kami.
Akhirnya hujanpun berhenti. Aku dan likha
kemudian memutuskan untuk membuka mantel hujan dan berhenti di suatu
tempat.
Sungguh diluar dugaan sesaat setelah hujan turun
matahari muncul kembali. Panorama gunung sinabung yang indah membuat kami
terkesima.
Udara gunung yang asri serta tumbuhan hijau yang
hidup disekitarnya membuat aku benar-benar terpesona.
Perjalanan panjang yang cukup melelahkan seolah
terbayar sudah. Rasa letih seolah gugur seketika ketika kami sampai di daerah
tersebut.
Perjalanan ini sungguh mengesankan bagiku, entah
kalau likha aku sih gak tau gimana perasaannya.. Akan tetapi yang jelas bagiku
perjalan ini sungguh mengesankan.
Perjalan ini telah mengajarkanku akan sesuatu
yang amat berharga bagiku.
Perjalan kali ini telah menambah pandanganku
terhadap kehidupan. Bahwa “Jalan yang sulit akan membawa kita menuju tempat
yang indah”.
Jangn pernah bersedih jika kehidupan masa muda
kita mengalami berbagai kesulitan dan cobaan. Beranggapan baik saja karena bisa
jadi kesulitan hidup yang kita alami hari ini akan membawa indah pada waktunya.
Yang penting kita harus tetap berusaha dan berdoa kepada sang pencipta.
Sekian dulu kisah perjalanku dan likha menuju
gunung sinabung. Meskipun banyak kisah yang kami alami disana. Termasuk saat
pulang menuju ke Medan. Mengenai lihka yang hampir jatuh di jalan karena
mengantuk. Serta banyak lagi .
Akhirkata tulisan ini menemui muaranya.
Assalamualaikum wr.wb. Semoga pembaca dan kita semua senantiasa berada di dalam
lindungan dan karunianya Allah SWT. Amin. Amin ya rabbal alamin.
Medan 19 April 2018.
Jangan lupa folow IG saya ya : Ucup_0402
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.