Penulis : Muhammad Yusuf
Kring,
Kring , kring , jam weker dikamarku berbunyi. Akupun langsung bergegas untuk
bangun dan bersiap-siap untuk melaksanakan sholat Subuh.
Seteleh
selesai melaksanakan sholat Subuh, akupun kemudian langsung mandi, berkemas dan
menyiapkan segala keperluan yang akan kubawa untuk pergi nanti.
Likha
bangun jangan tidur lagi nak”, Sahut mama dari balik pintu kamarku. “Ia ma, Likha
udah bangun kok”. Sudah seperti sebuah rutinitas dimana setiap kali aku
memiliki rencana untuk pergi, mama adalah orang yang selalu memburu-buruku dan
memastikanku untuk siap lebih awal dari siapapun.
Sehari
sebelumnya aku juga sudah bilang kalau aku akan pergi bersama seorang temanku
ke sebuah tempat di daerah Langkat. Mama mengizinkanku untuk pergi meskipun aku
hanya pergi berdua dengan temanku Ucup. Biasanya mama tidak pernah
mengizinkanku untuk pergi, terutama pergi berduaan bersama teman laki-laki. Kedua
orang tuaku sangat selektif dalam menjagaku. Mungkin karena aku adalah anak
satu-satunya yang mereka miliki.
Ucup
adalah temanku semasa di sekolah dasar. Aku sangat mengenalnya begitu juga
halnya dengan kedua orang tuaku. Kedua orang tuaku telah mengenal Ucup sejak
lama sehingga mudah saja bagi mereka untuk membiarkanku pergi bersamanya.
Setelah
selesai berkemas-kemas, akupun memutuskan untuk menghubungi Ucup. Tuttt, tutttt, tuttt “haloo, Assalamualaikum Lik”.
Ucup mengangkat telponku. “ Waalaikum
salam Cup, udah dimana Cup ?, aku udah siap ni tinggal berangkat aja”. “Ia Lik
aku juga udah siap kok, aku otw dulu ya”. ”ok”, kabarin kalau sudah sampai di
rumahku ya”. “Ia” jawan Ucup singkat sembari mengakhiri telpon dengan
mengucapkan salam.
Jam
masih menunjukan pukul tujuh lewat tiga puluh lima menit. Rencananya kami akan
berangkat pukul delapan berarti masih ada sisa waktu dua pulu lima menit lagi
dari waktu yang kami janjikan. Sembari menunggu Ucup, aku mencoba browsing di
internet untuk mencari-cari informasi mengenai lokasi yang akan kami tuju. Hanya
sedikit yang kutau tentang daerah yang akan kami datangi itu karena Ucup hanya
bilang padaku bahwa kami akan pergi ke sebuah lokasi pertambangan minyak di
daerah Langkat.
Sebagai
anak mami daerah Langkat adalah daerah yang sangat asing bagiku. Aku hanya tau
bahwa kabupaten Langkat adalah salah satu kabupaten di Sumatera Utara,
sementara itu mengenai tambang minyak yang diceritakan Ucup aku sama sekali
belum tau dimana dan seperti apa lokasinya.
Ucup
pernah bilang bahwa Pangkalan Susu adalah sebuah kota kecil dengan potensi yang
melegenda. Entah apa yang membuat kota kecil itu begitu melegenda tapi yang
pasti Ucup memang sering membuatku penasaran.
Belum
lagi aku selesai dengan pencarianku tiba-tiba. Grengggg, suara sebuah sepeda motor terdengar,
dan tak lama berselang suara tersebut disusul oleh suara klakson yang jika dari
ritme pemencetannya sang pengemudi seperti memberi sebuah sinyal kepada
seseorang. Tit, tit, “pasti Ucup” pikirku dalam hati. “Likha, Likha” . ternyata
dugaanku benar. “Likha” teriak Ucup kembali dari luar rumah. “ia” seruku sambil
membukakan pintu depan. “eh maaf ya Lik, udah lama nunggu ya ?”. “belum kok
jawabku datar”. “Jadi gimana ayoklah berangkat sekarang”. “ ayok”. aku dan Ucup
pun memutuskan untuk segera berangkat. Sebelum berangkat kami pun tak lupa
untuk berpamitan kepada kedua orang tuaku. dan setelah itu pada pukul delapan kurang
kami pun berangkat.
***
Seperti
biasa, diawal perjalanan kami Ucup tak lupa mengingatkanku untuk berdoa.
Meskipun Ucup sering mengingatkanku, aku masih saja sering kelupaan untuk
melakukannya. Ketika berpergian yang ada didalam pikiranku hanyalah tentang
tempat yang akan aku datangi sehingga sering kali aku lupa untuk berdoa. Tapi
syukurlah Ucup selalu mengingatku. Bagiku Ucup adalah lelaki yang baik, sangat
jarang ada sesorang lelaki yang mengingatkanku untuk berdoa apalagi ketika
ingin berpergian.
Pagi
itu langit begitu cerah. Jalanan juga masih tidak terlalu macet sebagaimana
pagi di hari-hari biasanya. Hari ini adalah hari libur, meskipun tiap hari
adalah hari libur bagiku lantaran aku yang juga belum mendapatkan pekerjaan.
Namun, bagi Ucup hari ini adalah hari libur. Diantara aku dan Ucup, dialah yang
lebih beruntung menurutku karena baru beberapa hari ia wisudah ia sudah
langsung diterima sebagai guru di salah satu sekolah swasta di kota kami.
Jalanan
kota yang sepi membuat Ucup sedikit lebih dalam menarik pedal gas sepeda motornya,
sesekali aku merasakan guncangan-guncangan kecil lantaran ada beberapa ruas
jalan yang aspalnya sedikit bergelombang. Tak masalah bagiku, ketika Ucup memacu
sepeda motornya karena aku sudah biasa jalan dengannya. Tapi hatiku masih
penasaran. Aku masih penasaran dengan tempat
yang akan kami datangi ini. Karena beberapa hari sebelumnya kabar di televisi
mengatakan bahwa telah terjadi ledakan dan kebakaran hebat di salah satu lokasi
pertambambangan minyak milik warga desa yang menewaskan banyak orang. Aku takut
Ucup membawaku kesana, karena sepanjang yang kutahu tentang Ucup. Ucup adalah
orang yang paling penasaran terhadap sesuatu.
Sepanjang
perjalanan hanya suara mesin dari sepeda motor kami dan beberapa kendaraan saja
yang terdengan. Aku diam tidak berkata-kata, sementara Ucup juga begitu. Aku mencoba mencairkan suasana dengan mencoba
bertanya-tanya tentang lokasi yang akan kami datangi. “Cup, pelan-pelan ya
jangan ngebut”. “ia Lik”. Kali ini Ucup yang membalas dengan datar. Tak
biasanya ia sedikit dingin seperti itu pikirku dalam hati, karena biasanya Ucup
adalah orang yang humoris dan suka ngobrol apalagi kalau mengobrol denganku. Namun,
kali ini sedikit berbeda. Jawaban tadi membuatku mengurungkan niat untuk
bertanya-tanya tentang lokasi yang akan kami datangi. Tidak seperti biasanya
memang, tapi mungkin saja Ucup sedang menaruh konsentrasinya penuh kejalanan sehingga
tidak banyak kalimat yang ia utarakan pikirku dalam hati. Karena mengemudi bukan
hanya sekedar berapa waktu yang kita butuhkan untuk bisa sampai ke suatu tujuan
melaikan juga harus memerlukan konsentrasi penuh agar tidak mengalami
kecelakaan.
Tiga
puluh menit kemudian kamipun akhirnya keluar dan meninggalkan kota Medan untuk
selanjutnya berjalan menuju jalan Trans Sumatera Medan Banda Aceh. Awalnya aku
tidak tau samasekali mengenai jalan-jalan yang telah kami lalui ini akan tetapi,
Ucup selalu memberiku sebuah pengetahuan baru akan jalanan serta daerah-daerah
yang kami lalui. Aku selalu senang ketika diperjalanan entah itu daerah mana
atau jalan mana. Ucup sering kali memperkenalkannya kepadaku melalui penjelasan
singkatnya seperti, ini Lik lihat tugu itu, nah tugu selamat jalan itu
menandakan kita telah keluar dari kota Medan ataupun ketika beberapa bulan lalu
ketika kami pergi ke gunung Sinabung, ia juga memperkenalkan sebuah rute baru
yang sama sekali belum pernah aku lewati yaitu sebuah jalan potong dengan
panorama alam yang sangat indah.
Aku
sangat senang bisa pergi jalan-jalan bersama Ucup karena bagiku ia bukan hanya
teman jalan-jalanku tapi juga sekaligus guru wisataku. Ucup selalu teliti dan
memperhatikan setiap sudut daerah yang kami lalui, ia juga mengetahui banyak
tempat, sejarahnya dan masih banyak lagi hal yang lainnya. Tidak sepertiku yang
hanya terfokus kejalanan bahkan tak jarang aku juga sering ketiduran.
***
Sekeluarnya
kami dari kota Medan lalulintas menjadi sedikit padat. Kali ini, lalulintas dipadati
oleh bus-bus antar kota antar provinsi, sepeda motor, mobil pribadi, minibus
serta truk-truk besar pengangkut barang. Jalanan yang mulus membuat Ucup memacu
sepeda motor yang kami naiki menjadi lebih kencang dari sebelumnya.
“Lik
kita enaknya dari mana ya..?”, tiba-tiba Ucup bertanya kepadaku. Aku sontak
terkejut dan balas bertanya, “loh kok Tanya aku sih Cup..?, kan kau yang tau
rutenya”. “Ia sih Lik, aku tau, aku cuman pengen nanya kira-kira kita enaknya
lewat mana, lewat kota Binjai atau langsung aja memotong dari jalur alternatif”.
Timpal Ucup kembali. “Terserah sih Cup, pokonya yang bisa buat kita cepat
sampai ajalah”. Aku pasrah, tapi Ucup kembali bertanya. “Kau tau ngak Lik,
kalau jalan dari kota Binjai..?”. “Gimana ya Cup, pernah sih aku ke Binjai pas
kuliah dulu, tapi itulah perginya bareng-bareng dan kami naik kereta api jadi
aku gak tau jalannya”. “Owh gitu ya, yudalah kalau gitu kita lewat jalan
alternatif aja”.
Ketika
kulih dulu, aku sudah pernah ke Binjai. Aku dan teman-teman kampusku pergi
menaiki sebuah kereta api jurusan Medan Binjai dari Stasiun Besar Medan. Waktu
itu aku bersama dengan teman-temanku pergi ke Binjai hanya karena untuk
menonton di bioskop. Meskipun di Medan juga ada biskop dan jumlahnya pun sangat
banyak. Aku dan teman-temanku memilih untuk menonton di salah satu Mall dikota
Binjai, hal ini dikarenakan harga tiketnya jauh lebih murah jika dibandingkan
dengan bioskop-bioskop yang ada di Medan. Selain itu ongkosya juga tidak
terlalu mahal. Dengan uang sepuluh ribu saja kita sudah bisa pulang pergi
menaiki kereta api kelas eksekutif jurusan Medan-Binjai.
***
Akhirnya
Ucup pun memacu kendaraan yang kami naiki memasuki jalan alternatif. “ini Lik jalan
alternatif yang aku bilang tadi, kalau dari sini, kita langsung bisa ke Stabat,
gak melalui kota Binjai lagi, jadi bisa lebih cepatlah kita sampainya”, papar
Ucup.
Di
Jalan alterntif tersebut, lalu lintas tidak padat lantaran jalan alternatif
tersebut jauh dari pemukiman penduduk serta tempat-tempat lainnya. Pada sisi
kanan dan kiri jalan tersebut hanya terpapar persawahan serta kebun-kebun sawit
milik masyarakat. Jalanan yang mulus serta bebas hambatan membuat perjalanan
dari jalur alternatif menjadi lebih singkat. Dan tidak terasa kamipun telah
sampai di penghujung jalan alternatif dan kembali memasuki jalan Trans Sumatera
Medan Banda Aceh menuju kota Stabat.
Kalian
jangan heran kenapa kami kembali memasuki jalan Trans Sumatera Medan Banda
Aceh. Kami kembali memasuki jalan tersebut bukan karena sedang kembali pada
titik awal seperti diawal cerita, melainkan sebaliknya yaitu melanjutkan
perjalanan. Karena jalan Trans Sumatera Medan Banda Aceh adalah jalan lintas
Sumatera yang menghubungkan kota Medan, Binjai, Stabat, Tanjungpura, Gebang,
Pangkalan Berandan, Pangkalan Susu, Besitang, dan kota-kota lainnya hingga
Banda Aceh, dengan panjang jalan kurang
lebih lima ratus kilo meter.
Jalan
Trans Sumatera Medan Banda Aceh memang tidak sepanjang jalan Trans Sumatera
Medan menuju Lampung. Akan tetapi jalan Trans Sumatera Medan Banda Aceh dikenal
sebagai jalan yang paling mulus ketimbang jalan lintas lainnya yang ada di
pulau Sumatera.
Jalanan
yang mulus membuat Ucup membawa sepeda motor yang kami naiki menjadi lebih
kencang dari yang sebelum-sebelumnya, aku lihat pada sepedometer kecepatan kami
sudah pada angka seratus kilometer per jam. Kecepatan seperti itu justru
terlihat tidak kencang lantaran kendaraan-kendaraan yang beriringan bersama
kami kecepatannyapun rata-rata hampir segitu.
Lalulintas
ramai namun tetap lancar. Mobil pribadi serta bus-bus antar provinsi juga turut
serta beriringan bersama kami. Sesekali ada mobil yang mendahului kami. dalam
hati aku berfikir bahwa entah seberapa lagi kecepatan yang mereka gunakan, lari
seratus kilometer per jam saja masih bisa di dahului, berarti rata-rata
kecepatan mobil-mobil yang mendahului kami berkisar diatas seratus kilometer
per jam.
Tak
mau kalah bus-bus antar provinsi jurusan Medan Banda Aceh pun terlihat bringas,
memotong setiap kendaraan yang dianggapnya lebih lambat. Aku sedikit takut ketika
secara tiba-tiba sebuah bus mendahului kami namun caranya lebih mirip dengan
menggunting, ia menyusul kami lalu tidak lama berselang setelah itu ia memasuki
lajur kami dan tepat berada di depan kami. Bagian belakang dari bus itu hampir
saja menyenggol bagian depan sepeda motor kami, beruntung Ucup langsung sigap
menarik tuas rem tanggan sehingga sepeda motor kami sedikit melambat.
Aku
tidak bisa membayangkan bagaima nasib kami berdua jikalau kami sampai menabrak
bagian belakang dari bus tersebut. Jika saja Ucup tidak sigap menarik tuas rem
maka kami akan menabrak bagian belakang bus tersebut dan akhirnya terjatuh ke
aspal. Serta yang tak kalah menyeramkannya lagi adalah ketika kami terjatuh, maka
kami akan langsung digilas oleh sebuah truk pengangkut kayu yang sedari tadi
berada persis dibelakang kami.
Sungguh
kondisi yang sangat mengerikan jika dibayangkan. Untung saja Allah senantiasa
melindungi kami, batinku dalam hati.
“Pelan-pelan
ya cup”seruku untuk mengingatkan Ucup agar selalu berhati-hati,
“ia
Lik, maaf ya hampir aja tadi kita
nabrak”.
“Ia
Cup tapikan bukan salah kita juga, busnya nya tadi yang mau mepet kita”.
“Ia
Lik, pokoknya harus tetep sambil berdoa ya agar kita selamat sampai di tujuan”.
Ucup mencoba menenangkanku, dan sepertinya Ucup juga telah berhasil mengusir
rasa ketakutanku pasca kejadian tadi.
Dengan
berdoa aku percaya bahwa Allah akan melindungi dan senantiasa hadir disetiap
perjalanan kami batinku dalam hati.
“
Ia Cup, tapi tetep hati-hati juga ya”.
“Ia
Lik. Jawab Ucup.
Sepanjang
perjalanan lantunan takbir tak henti-hentinya aku ucapkan dari dalam hati,
panasnya hari saat itu membuat bibirku terasa kering dan kelu.
“Cup
kira-kira masih jauh lagi ya tempatnya?” aku bertanya pada Ucup.
“Ia
Lik, emang kenapa?, kau lelah ya ? atau kita istirahat dulu gimana..?”
“Ia
Cup, kita istirahat dululah ya, soalnyakan panas kali ini harinya”.
“Yudah
kalau gitu Lik, entar kita istirahatnya sekalian sholat Zuhur aja ya, kan udah
mau Zuhur juga ni. Nanti kita istirahat di Kota Tanjungpura aja, soalnya disana
ada masjid yang pastinya kau belum pernahlah kesana, pasti kau suka lah Lik”.
“Emang
jauh lagi ya Cup ?”, tanyaku kembali kepada Ucup. Enggak kok paling ada tiga
puluh menit lagi, begitu kita keluar dari kota Setabat kita akan segera sampai
disana”.
Akhirnya
kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, beberapa menit kemudian kamipun
telah sampai di kota Setabat. Stabat adalah salah satu kota kecil yang terletak
di kabupaten Langkat, sehingga tak perlu waktu lama bagi kami untuk terus
berjalan meninggalkan kota tersebut dan menuju kota selanjutnya yaitu Tanjungpura.
Jam
menunjukan hampir pukul dua belas siang, matahari bertambah terik dan suhu di jalan
terasa semakin panas dikarenakan jalanan merupakan tempat terbuka yang jauh
dari perlindungan apapun sehingga sinar matahari begitu leluasa menyinarinya.
Aku
menjadi tambah lemas mengingat hari ini aku juga sedang berpuasa. Bukan puasa
sunah melainkan ini adalah puasa ganti dari bulan puasa tahun lalu yang belum
aku bayar hingga saat ini.
Sebenarnya
aku juga tidak terlalu memaksakan diri untuk berpuasa lantaran aku dan Ucup akan
pergi hari ini. Namun, mau bagaimana lagi puasa gantiku masih ada beberapa hari
lagi yang harus aku bayar sementara bulan Ramadan tahun ini juga sudah mulai
dekat. Jika tidak berpuasa hari ini aku takut tidak bisa membayar puasa gantiku
tahun lalu.
Awalnya
aku juga berfikir bahwa tak masalah meskipun aku sedang berpuasa. Aku tetap pergi
bersama Ucup lantaran aku kan hanya duduk di boncengan jadi tidak perlu
mengeluarkan tenaga ekstra. Sampai akhirnya aku menyadari bahwa dugaanku
ternyata salah, duduk diboncengan saja pun juga dapat membuatku lemas dan kehausan.
Perjalanan
masih terus berlanjut, kendaraan lain juga lumayan ramai berlalu lalang dengan
kecepatan yang juga lumayan kencang. Aku lihat Ucup masih saja fokus kejalanan.
Dalam hati aku berfikir sepertinya Ucup juga mulai kelelahan. Siapa yang tidak
lelah jika berkendara berjam-jam diatas kenderaan dengan cuaca panas seperti
ini.
Aku
ingin sekali berbincang-bincang dengan Ucup sembari mengusir rasa lelahnya dan
membuat perjalanan menjadi tidak terasa. Namun, bibirku telah sepenuhnya kering
hingga tak mampu berkata-kata. Lantunan zikir senantiasa masih aku ucapkan
meskipun hanya dalam hati dengan harapan agar Allah akan selalu bersama kami,
melindungi kami hingga selamat sampai di tujuan.
Pada
sisi kanan jalan, lalu lintas lumayan lengah. hanya sesekali terlihat mobil
mini bus, sepeda motor serta mobil-mobil pengangkut gas alam yang lewat.
Kondisi tersebut membuat kendaraan-kendaraan lain dari arah yang kami lalui
senantiasa saling salip menyalip.
Jika
dilihat memang sangat memungkinkan dimana jalan yang mulus serta lengah pada
sisi kanan membuat pengendara lainnya lebih leluasa untuk menyalip kendaraan
yang berada di depannya.
Kamipun
tidak mau ketinggalan kami turut menyalip kendaraan-kendaraan yang berada di
depan kami terutama kendaraan-kendaraan besar yang jalannya pelan seperti
truk-truk pengangkut barang.
Sisi
kanan masih terlihat lengah, namun kali ini tidak memungkinkan untuk mendahului
lantaran kondisi jalan yang tidak memungkinkan karena ada beberapa tikungan
ganda.
Sebuah
truk besar berjalan lamban di depan kami. “Besar kali truknya ya Cup”, “ ia Lik”.
Truk tersebut memiliki panjang kurang lebih dua belas meter dengan memuat dua
buah peti kemas sekaligus di gandengannya.
Kali
ini ucup berusaha untuk menyalipnya, namun beberapa kali usaha ucup gagal lantaran kondisi jalan
yang tidak memungkinkan. Dalam hati aku berdoa agar Allah selalu melindungi
kami agar selamat sampai di tujuan.
Ucup
masih terus berusaha menyusul truk tersebut, kali ini adalah usahanya yang
kelima. Kulihat di spedomotor kendaraan kami, jarum sepedometer menunjukan
angka enam puluh. Tidak beberapa kencang sih sebenarnya namun ketakutanku yang
sesungguhnya adalah ketika Ucup ingin mendahului truk tersebut.
Sebelum
mendahului, Ucup memasang lampu sen ke kanan dengan maksud untuk memberitahu
kendaraan yang berada di belakang kami bahwa kami akan mengambil lajur kanan
dan memotong truk tersebut.
Nyutt
badanku terasa terdorong ke belakang, tiba-tiba sepada motor yang kami naiki
menjadi lebih kencang. Terang saja lantaran Ucup menarik pedal gas motornya
menjadi lebih dalam dan membuat laju sepeda motor yang kami naiki menjadi lebih
cepat.
Ucup
memutuskan untuk menyalip truk tersebut. Sisi kanan terlihat kosong awalnya
namu ketika kami telah sampai di pertengahan badan truk tersebut tiba-tiba
sebuah mobil sedan terlihat melaju kearah kami.
Aku
sangat ragu apakah Ucup bisa mendahului truk tersebut mengingat truk tersebut
sangat panjang, sementara di depan juga ada sebuah mobil sedan yang sedang
menuju kearah kami.
Aku pasrah dan tak yakin jika kami dapat
menyusul truk tersebut namun Ucup terus memaksakannya. Ucup menarik pedal gas
lebih dalam sementara mobil sedan yang tadi sudah hampir dekat dengan kami.
Aku
bingung harus berbuat apa, aku tak berani melihatnya namun tak berani pula
untuk menutup mata. Dalam hati aku terus berzikir hingga akhirnya kami bisa
mendahului truk tersebut.
Nyaris
saja pikirku dalam hati sembari mencubit pahaknya Ucup. Ucupun sontak terkejut.
“Cup pelan-pelan yah, ngeri loh aku ngelihatnya tadi”. “ia lik”, jawab Ucup sembari
mengosok-gosok bekas cubitanku di pahak kanannya.
“Sakit
ya Cup ?”, tanyaku sedikit menggodanya.
“Sakitlah” jawab Ucup sembari mendorongku kebelakang dengan bokongnya.
“Rasain siapa suruh ngebut-ngebut” jawabku sembari tertawa kecil.
“ Emang jauh lagi ya mesjidnya ?”, aku
bertanya lagi pada Ucup. “engak kok Lik bentar lagi kita sampai kok”.
Ternyata
Ucup benar, tak perlu waktu lama sekiranya lima menit kemudian kamipun sampai
di sebuah masjid dikota Tanjungpura. Kamipun menyinggahinya untuk melaksanakan
sholat Zuhur sekaligus beristirahat.
“Ini
Lik masjid yang aku bilang tadi, nanti kita istirahad dulu ya disini sekalian
sholat Zuhur”.
“Owh
ini ya ternyata, wah bagus kali mesjidnya Cup”. Aku berdecak kagum melihat
masjid tersebut, Sangat indah dengan arsitektur masa lampau serta warna kuning
yang mendominasi pada setiap bagiannya.
Jika
dilihat secara kasat mata, masjid ini merupakan salah satu masjid bersejarah
peninggalan kesultanan langkat. Dan untuk lebih pastinya lagi aku kembali
bertanya pada Ucup.
“Kayaknya
ini masjid bersejarah ya Cup?”.
“Ia
lik bener, masjid Azizi ini adalah salah satu masjid bersejarah di Kabupaten Langkat.
Kalau aku tidak salah ya, masjid ini selesai didirikan pada tahun 1902 oleh
kesultanan Langkat, dan yah begitulah kira-kira lik, kalau aku sih kurang tau
banyak tentang sejarahnya masjid ini”.
Suara
azan pun terdengar dan membuat kami menyudahi pembicaraan. Aku dan Ucup kemudian
bergegas untuk berwudhu dan untuk selanjutnya melaksanakan sholat Zuhur.
Selesai
melaksanakan sholat Zuhur kamipun berkeliling-keliling sebentar mengintari
masjid tersebut untuk melihat-lihat. Pada sisi kiri masjid terdapat makam para
sultan Langkat yang diantaranya adalah makam Sultan Musa, makam Sultan Abdul
Azizi dan Sultan Mahmud serta makam guru ngaji para Sultan langkat yaitu Sjech
Muhammad Yusuf. Selain itu terdapat juga makam dari seorang pujangga dan Pahlawan
Nasional Tengku Amir Hamzah.
Sehabis
melihat-lihat serta berfoto-foto, kamipun kemudian memutuskan untuk kembali
melanjutkan perjalanan menuju kota minyak Pangkalan Susu.
Dari
Tanjungpura masih ada dua daerah lagi yang harus kami lalui yaitu Gebang dan
Pangkalan Berandan. Dan tak perlu waktu lama, akhirnya sekitar satu jam
setengah kemudian kamipun sampai di daerah Pangkalan Susu.
“Nah
ini dia Lik Pangkalan Susu, ini sih belum sampai di kotanya tapi, di daerah
inilah banyak terdapat pipa-pipa tempat-tempat penampungan minyak”
“Owh
jadi kita udah sampai ya Cup, astaga jauh kali ya Cup, emang tempat-tempat
minyaknya dimana cup? Di kotanya ya? Kok belum kelihatan”.
“Kalau
lokasih pengeboran minyaknya sih engak di Pangkalan Susu, lokasi pengeboran
minyaknya berada di seberang, jadi kalau dari kota Pangkalan Susu kita harus
naik kapal lagi. Tinggal hanya tempat penampungan serta penyulingan minyaknya
di alirkan ke kota ini. Nah, didepan sana kita bisa lihat pipa-pipa minyak
serta tempat-tempat penyulingan minyaknya”.
Kamipun
menuju tempat yang dibilang oleh Ucup tadi. Sesampainya kami disana, kami
melihat pipa-pipa minyak serta tempat-tempat penampung minyak yang terlihat
tidak terawat. Pada bagian lain aku melihat ada sebuat pabrik bertuliskan
Asphalt Plant Pangkalan Susu.
“Cup,
Cup, “ teriakku sambil menarik lengan jaketnya. “Ia Lik, ia loh ada apa ?”. Ucup
balik bertanya kepadaku. “itu loh Cup, itu pabrik apa?, itu ya tempat
pengolahan minyaknya?”. Ucup menoleh ke arah yang kumaksud. “Owh Asphalt Plant
Pangkalan Susu itu ya, itu dulunya adalah bekas pabrik pengolahan aspal milik
Pertamina yang ada di Pangkalan Susu, bukan tempat pengolahan minyaknya, kalau
pengolahan minyaknya itu adanya di kota, sayanngnya kita engak boleh pulak
untuk masuk kedalam, lantaran pabriknya masih aktif. Meskipun sekarang tidak
dipergunakan sebagai tempat pengolahan minyak, namun sekarang pabrik tersebut
digunakan sebagai tempat pengisian gas alam.
“Nah
kau tau ngak Lik ?”. “ Tau apa Cup ?”, aku langsung memotong pembicaraan Ucup.
“Tau gak kalau”, Ucup melanjutkan pembicaraannya kembali. “ Tau engak kalau
sepanjang jalan yang kita lewati tadi
banyak mobil-mobil besar pengangkut gas alam?”. “Hmmm, tau Cup”. Sepanjang
jalan yang kami lewati dari Kota Medan hingga Pangkalan Susu aku memang melihat
ada beberapa mobil-mobil tangki pembawa gas berselisih dengan kami.
“Emang
mobil-mobil itu dari sini ya Cup ?”, tanyaku kembali pada Ucup. “Ia Lik, mobil-mobil
pengangkut gas itu dari kota ini, mereka membawa gas-gas alam dari Pangkalan
Susu ke daerah-daerah lainnya untuk kemudian di distribusikan kepada
masyarakat.
“Owh
berarti gas-gas LPG yang digunakan oleh ibu-ibu kita dirumah semuannya berasal
dari sini ya Cup ?, tanyaku kembali semakin penasaran. “Ia Lik, pokoknya
gas-gas yang ada di kota kita serta kota-kota lainnya disekitar Medan
kesemuanya berasal dari kota ini.
Aku
tertegun mengetahui hal tersebut, kota kecil yang tampak sederhana ini ternyata
menyimpan sebuah potensi yang sangat luar biasa yaitu sebagai penghasil minyak
bumi dan gas alam.
Selanjutnya
kamipun berkeliling-keliling ke kota Pangkalan Susu hingga menuju bukit kunci.
Di daerah bukit kunci, tak jauh dari kota Pangkalan Susu kami melihat sebuah
bukit dengan tiga buah ayunan diatasnya, penduduk setempat menyebutnya sebagai
bukit KL. Dari atas bukit tersebut kami dapat melihat seluruh bagian dari Kota
Pangkalan Susu, stadiun serta laut dan dermaga kapal milik Pertamina.
Sungguh
indah kota kecil ini tak salah jika Ucup mengajakku kemari. Hari sudah mulai
petang aku juga sebentar lagi akan berbuka puasa. Aku meminta Ucup untuk
membawaku ke sebuah tempat penjual es kelapa namun ternyata Ucup malah
mengajakku kerumah Ayu.
Ayu
adalah seorang gadis yang tinggal di daerah sini. Keluarganya sangat ramah dan
baik dalam menyambut kami, tak salah jika Ucup sangat menyukai gadis itu. Ucup
menyukai segala hal tentang Ayu. Keluarganya, kota tempat ia tinggal dan masih
banyak lagi yang lainnya yang aku juga sudah lupa. Satu hal tentangku adalah
aku memang orang yang mudah lupa namun satu hal yang tidak akan pernah aku lupa
dari perjalanan kami hari ini adalah bahwa Allah selalu hadir di setiap
perjalanan kami.
Tentang
Penulis
Jangan
heran jika banyak orang tidak mengenaliku. Kenyataannya karena memang aku
bukanlah seseorang yang terkenal seperti artis ataupun pablik figure lainnya.
Bercita-cita
menjadi orang yang terkenal itu memang mudah namun menjadi terkenal dan dikenal
oleh banyak orang itu adalah sesuatu yang teramat sulit.
Namaku
Muhammad Yusuf temen-temen dikampus, dirumah, ditempat kerja, sering
memanggilku dengan sebutan Ucup. Aku adalah anak ke dua dari tiga orang
bersaudara. Dilahirkan dari sebuah keluarga sederhana pada 04 Februari 1995.
Saat
ini aku bekerja sebagai seorang guru di salah satu sekolah swata dikota Medan,
tidak banyak sih yang bisa aku ceritakan pada kolom biodata ini. Namun jika
ingin mengetahui banyak hal tentangku. Anda dapat melihatnya di blogg pribadiku
di www.artikell-saya.blogspot.com
atau bisa juga kunjungi instagram saya @ ucup_0402 atau melalui email Ucup.0402@gmail.com ataupun WA. 082166383523.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.